Sunday, June 24, 2018

STATUS PERLINDUNGAN IKAN NAPOLEON (cheilinus undulatus)


Ikan Napoleon (cheilinus undulatus) atau di Indonesia Bagian Timur seperti Maluku dan Papua biasa disebut dengan maming, adalah salah satu jenis ikan yang dikategorikan terancam (vulnerable) akibat permintaan pasar yang tinggi. Harga jual yang tinggi di pasaran dunia, menjadikan banyak nelayan menjadikan ikan ini sebagai ikan target utama untuk penangkapan hidup, baik menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti pancing maupun penggunaan potassium.

Gambar 1. Ikan Napoleon (cheilinus undulatus) atau Maming

Pada CoP 13 CITES di Bangkok, Thailand tanggal 2–14 Oktober 2004, Otoritas CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, yang berkedudukan di Jenewa (Swiss) menyepakati untuk memasukan jenis ikan ini ke dalam Appendiks II CITES yaitu boleh diperdagangkan secara terbatas dan selanjutnya dalam pemanfaatannya harus sesuai dengan ketentuan CITES. Spesies yang masuk dalam Appendiks II diatur pemanfaatan dengan prinsip Non Detrimental Findings (NDF) yang sesuai dengan isi Article IV CITES. Prinsip NDF tersebut dimaksudkan untuk menjamin bahwa perdagangan internasional yang dilakukan tidak akan merusak populasi spesies tersebut dialam. NDF salah satunya diterjemahkan dalam bentuk sistem kuota tangkap dan kuota ekspor serta pengaturan peredaran, perlindungan, dan konservasi jenis tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi CITES sesuai Keputusan Presiden Nomor : 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade In Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora.  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 pada pasal 65, Departemen Kehutanan ditunjuk sebagai otoritas pengelola konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditunjuk sebagai otoritas keilmuan CITES. Selanjutnya, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996) Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditunjuk sebagai otoritas pengelola CITES di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996).

Gambar 2. Logo CITES

Jauh sebelum ditetapkan sebagai appendix II CITES, Indonesia sebagai salah satu negara anggota CITES, telah memiliki regulasi yang mengatur tata cara pemanfaatan ikan napoleon (cheilinus undulatus) sesuai regulasi  Departemen Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 375/Kpts/IK.250/5/95 tentang Pelarangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse yang kemudian dijelaskan pada Keputusan Dirjen Perikanan No. HK.330/S3.6631/96 tentang Ukuran, lokasi dan tata cara penangkapan ikan Napoleon (cheilinus undulatus). Perdagangan ikan napoleon (cheilinus undulatus) dibatasi dengan kuota yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan sejak tahun 2005. Kuota yang ditetapkan oleh Kemenhut (2008) berupa kuota tangkap dan kuota ekspor. Kemudian ukuran yang boleh diekspor, ukuran 1 – 3 kg.
Selanjutnya, pada tahun 2012 Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri No. 44/M-DAG/Per/7/2012 tentang Barang dilarang Ekspor. Dengan semakin maraknya penangkapan ikan napoleon, dan berdasarkan Rekomendasi LIPI No. 757/IPH.1/HK.04.04/III/2013 tanggal 27 Maret 2013 tentang Rekomendasi Perlindungan Ikan Napoleon, maka pada tanggal 2 Juli 2013, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Keputusan Menteri No. 37/Kepmen-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (cheilinus undulatus). Dalam aturan ini menetapkan larangan penangkapan, peredaran  dan perdagangan ikan napoleon (cheilinus undulatus) dengan ukuran 100 gram - 1 kg dan yang lebih dari 3 kg. Dengan terbitnya Keputusan Menteri No. 37/Kepmen-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (cheilinus undulatus) maka Peraturan Menteri Pertanian No. 375/Kpts/IK.250/5/95 tentang Pelarangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kementerian Kehutanan juga mengatur tata cara peredaran Ikan napoleon yang hanya boleh diekspor melalui jalur udara serta dalam kondisi hidup dan tidak diberikan ijin melalui perdagangan di laut. Ekspor hanya diperbolehkan melalui udara yaitu Bandara Internasional Soekarno - Hatta, Jakarta dan  Bandara Internasional Ngurah Rai – Bali, serta hanya diperbolehkan dalam kondisi hidup.
Berdasarkan Keputusan Menteri No. 37/Kepmen-KP/2013, penangkapan dan perdagangan ikan napoleon (cheilinus undulatus) yang merupakan jenis ikan appendix II CITES yang boleh ditangkap adalah yang berukuran 1-3 kg, dengan pengecualian untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian status perlindungan ikan napoleon (cheilinus undulatus) di indonesia dikategorikan sebagai Perlindungan Terbatas. Untuk ilustrasi Kepmen KP Nomor 37 Tahun 2013 mengenai ukuran boleh tangkap dan yang dilarang untuk dilakukan penangkapan dapat dilihat pada gambar berikut: 

Gambar 3. Ilustrasi Perlindungan Terbatas Napoleon (cheilinus undulatus) berdasarkan Kepmen-KP 37/2013
(Sumber Didi Sadili, Rapat Koordinasi Pemanfaatan Ikan Napoleon di BKIPM KKP, 24 November 2014)


Sejak tahun 2012, Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Loka PSPL) Sorong sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki wilayah kerja di 4 Provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara) telah melakukan beberapa kali pemantauan populasi ikan napoleon (cheilinus undulatus) sebagaimana dengan hasil sebagaimana gambar dibawah ini :

Gambar 4. Monitoring Ikan Napoleon (cheilinus undulatus) 
(Loka PSPL Sorong, 2012-2015)


Thursday, June 14, 2018

Kode 3 Dugong (dugong dugon) di Pesisir Malaumkarta

Minggu, 10 Juni 2018, se-ekor dugong atau lebih dikenal dengan duyung (dugong dugon) ditemukan mati di perairan Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong - Provinsi Papua Barat. Menurut informasi yang diperoleh dari bapak Yakonias Yance Do, dugong tersebut pertama kali ditemukan oleh Bapak Usman Mayor yang sedang melakukan perjalanan dari kampung Asbaken menuju Distrik Makbon.Bapak Usman Mayor kemudian menarik dugong tersebut ke pesisir kampung Malaumkarta dan menginformasikan kejadian tersebut kepada masyarakat kampung Malaumkarta yang bernama bapak Anton dan bapak Welmot. 


Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Loka PSPL) Sorong yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan memperoleh informasi dari sdr Roberth Hikler Kalami yang juga merupakan Ketua Kelompok Masyarakat Konservasi Penyu Kampung Malaumkarta, segera menindak lanjuti informasi tersebut dengan mengirim tim  untuk menangani mamalia laut yang dilindungi penuh berdasarkan PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan masuk dalam daftar Appendix I CITES pada tanggal 11 Juni 2018. Berdasarkan hasil pengukuran morfometri, diketahui dugong atau duyung tersebut memiliki panjang 2,84 meter, tinggi 0,51 meter dengan lingkar tubuh 1,8 meter dan berjenis kelamin jantan. 


Loka PSPL Sorong bersama Kelompok Masyarakat Konservasi Penyu Kampung Malaumkarta kemudian menguburkan bangkai dugong tersebut pada area aman yang terbebas dari pengaruh pasang surut air laut, dengan posisi koordinat 00o44’58.0” S dan 131o35’20.7” E pada kedalaman 1,5 meter.